AWALNYA adalah letusan yang dahsyat dari sebuah
gunung berapi. Letusan itu mengakibatkan tanah terbelah menjadi semacam
jurang yang memanjang. Sungai besar yang sebelumnya mengalir di kaki
gunung berapi itu kemudian menjadi sumber air utama yang mengisi belahan
akibat letusan itu.
Air terus-menerus
mengalir ke dalam belahan yang menyerupai lubang besar. Dan
lama-kelamaan lubang besar penuh dengan air. Lalu, di sekeliling danau
baru itu mulai ditumbuhi berbagai tanaman, di antaranya tumbuhan semak
yang oleh warga setempat disebut ranau. Maka danau itu pun dinamakanlah
Danau Ranau.<>
Itulah legenda terjadinya
Danau Ranau. Sisa gunung api itu kini menjadi Gunung Seminung yang
berdiri kokoh di tepi danau berair jernih tersebut.
Dari
masa ke masa, Danau Ranau menjadi saksi kisah dan legenda masyarakat
Banding Agung. Salah satu kisahnya adalah legenda Si Pahit Lidah dan Si
Mata Empat. Mereka berdua adalah dua jawara yang amat disegani oleh
lawan-lawannya.
Karena masing-masing
jawara itu penasaran dengan kekuatan lawan, suatu kali mereka bertemu
untuk mengadu kesaktian. Pertarungan itu bukan pertarungan kemampuan
bela diri, tetapi menguji kesaktian. Pemenang ditentukan dengan cara
masing-masing kesatria itu bergantian tidur menelungkup di bawah rumpun
bunga aren. Siapa yang mampu menghindari terjangan bunga aren yang
dipotong, menjadi pemenang.
Disepakati Si
Mata Empat yang terlebih dulu tidur menelungkup di bawah bunga aren itu.
Ketika bunga aren dipotong oleh Si Pahit Lidah dan deras menghujam ke
tanah, ternyata dengan gesit Si Mata Empat mampu menghindar. Itu karena
Si Mata Empat memiliki dua mata di belakang kepalanya hingga dengan
mudah menghindar ketika bunga aren yang lebat dan berat itu meluncur ke
bawah.
Giliran Si Pahit Lidah tidur
menelungkup di bawah gugusan bunga aren itu. Si Mata Empat kemudian
memanjat pohon dan memotong bunga aren. Gugusan bunga yang berat itu
segera menghujam tubuh Si Pahit Lidah. Ia tewas karena tidak mampu
menghindar dari terjangan gugusan bunga aren.
Si
Mata Empat menang, namun ia penasaran. Sebuah pertanyaan mengganggu
dalam hatinya, "Benarkah lidahnya pahit seperti julukannya?" tanya Si
Mata Empat dalam hati.
Dengan penasaran ia
kemudian mencucukkan jarinya ke mulut Si Pahit Lidah yang tewas. Lalu
perlahan-lahan jari yang telah mengenai liur Si Pahit Lidah itu diisap
oleh Si Mata Empat. Ternyata air liurnya mengadung racun sehingga Si
Mata Empat pun mati.
Mereka kemudian
dimakamkan di tepi danau tersebut. Mereka menjadi bagian makam leluhur
warga Ranau yang disemayamkan di sekitar danau tersebut. Karena itu,
setiap kali warga Ranau berziarah ke makam mereka sebelum mengadakan
hajatan besar, semisal Festival Danau Ranau, Juli lalu.
Warga
Banding Agung mengatakan, kedekatan dengan para leluhur itu merupakan
bagian dari hidup warga setempat. Mereka memiliki penghormatan pada
tradisi itu. Warga menjaga dengan sungguh-sungguh warisan alam itu
dengan baik. Oleh karena itu, keaslian Danau Ranau tetap terjaga, dan
tak ada yang memungkiri keelokan danau tersebut.
DANAU
Ranau memang memiliki pesona. Bagamaina tidak? Bekas letusan gunung
berapi tersebut seolah membentuk panggung alam yang elok. Gunung
Seminung yang menjulang 1.880 meter di atas permukaan laut menjadi latar
belakang yang penuh dengan nuansa magis. Tebing dan barisan perbukitan
menjadi pagar pembatas panggung megah itu.
Hamparan
sawah yang hijau berpadu dengan air Danau Ranau yang biru seolah
menjadi pelataran tempat berbagai jenis ikan berenang, menari.
Butir-butir kopi yang merah seakan-akan menjadi pemanis keindahan itu.
Keelokan itu menjadi lengkap dengan bingkai indah pantai berpasir dan
kerikil putih yang ada di sepanjang tepi danau itu.
Pada
pandangan pertama, kesemarakan alam itu memikat mata. Penat karena
harus duduk melipat kaki di mobil perlahan hilang, berganti kesejukan
ketika merendam kaki telanjang ke dalam air danau yang dingin. Air
terjun yang indah dan pemandian air panas membuat segala kejenuhan
lenyap. Tubuh pun segar kembali.
Namun
sayang, kekayaan itu tak tergarap apik. Tebaran pesona Danau Ranau yang
memikat terasa kurang mengikat dan membekaskan niat untuk kembali lagi,
lantaran sebagai kawasan wisata Danau Ranau yang luasnya lebih dari 44
kilometer persegi itu belum memiliki daya dukung yang memadai.
Setidaknya
hanya terdapat dua losmen dan satu hotel kecil di Banding Agung, sebuah
kecamatan yang berada di tepi danau tersebut. Kalaupun ada wisma yang
lebih bagus itu adalah sebuah peristirahatan yang dikelola oleh PT
Pusri. Selebihnya adalah home stay yang dikelola warga. Tiap kamar di
rumah penduduk yang disewakan sebagai home stay itu dihargai Rp 30.000.
SAYANG
memang, kawasan yang masih asli itu belum digarap dengan
sungguh-sungguh. Promosi pariwisata yang digalang Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, lewat Festival Danau Ranau
belum juga memancing minat investor. Promosi yang digalakkan oleh
Pemerintah Kabupaten Lampung Barat lewat Festival Teluk Setabas pun
hingga kini belum juga mendatangkan investasi.
Pengelolaan
kawasan yang berada di dua kabupaten dan dua provinsi itu tampaknya
membutuhkan angin segar atau napas baru agar keelokan Danau Ranau terus
berdetak dan menggetarkan minat pelancong untuk datang kembali.
Memang
ada baiknya jika kedua pemerintah daerah itu melakukan share untuk
mengelola kawasan itu sehingga mampu mendatangkan kemakmuran bagi warga
di sana. Sayang jika setelah kelelahan akibat perjalanan selama enam jam
dari Bandar Lampung, Danau Ranau kurang membangkitkan minat untuk
kembali lagi.
Mungkin perlu disiasati
dengan membangun tempat wisata yang meskipun kecil tetapi membuat
pelancong tidak jenuh. Pemerintah Kabupaten Lampung Barat sudah mencoba
membuat gardu pandang di sebuah bukit antara Liwa dan Bukit Kemuning.
Sayangnya, gardu pandang itu juga kurang dirawat dengan baik. Selain
itu, pemandangan di kaki bukit masih didominasi perkebunan kopi yang
masih baru.
Danau Ranau memang belum ada
apa-apanya jika dibandingkan dengan Danau Toba di Sumatera Utara.
Kawasan yang terletak di kaki Puncak Pusubuhit itu memiliki sarana
perhotelan dan jaringan jalan yang bagus.
Meskipun terus terancam
pembabatan hutan, pada bagian tertentu hutan pinus di kawasan itu tetap
dijaga. Selain itu, adat kebiasaan setempat serta potensi lokal
dipelihara sehingga mengundang turis-baik dalam maupun luar
negeri-selalu ingin kembali lagi ke sana.
Waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai kawasan kedua danau tersebut tidak jauh
berbeda. Dari Medan dibutuhkan waktu sekitar empat jam untuk mencapai
Parapat, kecamatan yang berada di tepi Danau Toba. Sementara itu juga
dibutuhkan waktu lima jam hingga enam jam dari Bandar Lampung untuk
mencapai Danau Ranau.
Waktu yang panjang
setidaknya dapat disiasati dengan pariwisata yang mengetengahkan
perkampungan adat, sejarah perkebunan lada, atau pariwisata perkebunan.
Itu
perlu dilakukan karena jalur menuju Danau Ranau juga melewati Kotabumi,
Kabupaten Lampung Utara, yang menyimpan sejarah kejayaan perkebunan
lada masa silam. Selain itu, di sepanjang jalan menuju Danau Ranau
banyak terdapat rumah tradisional Lampung.
Jika
kawasan itu dikelola dengan baik, tidak tertutup kemungkinan
perkampungan tradisional itu pun berkembang menjadi kawasan wisata.